BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Letak
tanah air Indonesia diapit oleh dua benua dan dua samudra,merupakan posisi
strategis dan rawan dilihat dari kepentingan keamanan, politik, ekonomis,
sosial dan budaya.
Sebagai
negara kepulauan, Indonesia sangat membutuhkan adanya peranan jasa pengangkutan
untuk menghubungkan antara pulau yang satu dengan pulau yang lain.
Dalam
bidang perdagangan, pengangkutan merupakan hal yang mutlak, sebab barang-barang yang dihasilkan oleh produsen
atau pabrik-pabrik dapat sampai di tangan pedagang atau pengusaha hanya dengan
jalan pengangkutan, dan seterusnya dari pedagang atau pengusaha kepada konsumen
juga menggunakan jasa pengangkutan.
Peranan
jasa pengangkutan, baik darat, laut dan udara sangat besar peranannya dalam
memindahkan dan memperlancar hubungan antara orang- orang atau barang yang berada
di dalam wilayah Indonesia,demikian juga halnya dalam hubungan internasional.
Penyelenggaraan
pengangkutan udara tidak selamanya berjalan dengan lancar, sebab tidak jarang
pula terjadi peristiwa/kejadian yang tidak diinginkan oleh penyelenggaranya
sendiri. Misalnya rusaknya pesawat sehingga mengakibatkan batalnya suatu penerbangan
atau terjadinya kecelakaan pada misi penerbangan yang
dilakukan.
Permasalahan
tanggung jawab pengangkutan udara terhadap bagasi penumpang sering terjadi
dalam pelaksanaan penerbangan. Agar penyelesaian ganti rugi dilaksanakan dengan
tertib, maka hukum dipakai sebagai penunjang utama penyelesaian masalah
tersebut.
Hukum
yang berfungsi sabagai sarana untuk penyelesaian masalah tersebut sesuai dengan
yang dikemukakan oleh para pakar hukum antara lain Mochtar Kusumaatmadja.
Beliau mengatakan bahwa “agar pembangunan berjalan dengan tertib, maka hukum
berfungsi sebagai sarana penunjangnya.”
Peraturan
perundang-undangan nasional yang mengatur tanggung jawab
pengangkut terhadap
bagasi penumpang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang
Penerbangan. Latar belakang dibentuknya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang
Penerbangan ini adalah “untuk menunjang kepastian hukum pelaksanaan
transportasi yang mempunyai peranan penting dan strategis dalam memantapkan
perwujudan wawasan nusantara, memperkukuh ketahanan nasional dan mempererat
hubungan antar bangsa.
Pelaksanaan
transportasi yang terus dikembangkan potensinya sebagai penghubung wilayah
nasional dan internasional merupakan penunjang pendorong dan penggerak
pembangunan nasional demi kesejahteraan rakyat.
Tujuan
pembentukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang
Penerbangan adalah
“untuk mencapai tujuan pembangunan nasional melalui penataan penyelenggaraan
satu kesatuan sistem transportasi nasional. Selanjutnya mampu mewujudkan
penyediaan jasa transportasi yang seimbang dengan tingkat kebutuhan dan
tersedianya angkutan yang selamat, aman, cepat, lancar dan tertib.
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2009 tentang penerbangan ini mengatur
tentang tanggung jawab
pengangkutan udara terhadap bagasi penumpang, sesuai dengan ketentuan dalam
pasal 144, dan pasal 146 antara lain. pasal 144 menyebutkan bahwa
Pengangkut bertanggung
jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang karena bagasi tercatat hilang,
musnah, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama bagasi
tercatat berada dalam pengawasan pengangkut.
Pasal
146 bahwa: Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita karena keterlambatan
pada angkutan penumpang, bagasi, atau kargo, kecuali apabila pengangkut dapat
membuktikan bahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor cuaca dan
teknis operasional.
Mengenai
permasalahan yang kemungkinan berasal dari suatu kecelakaan
pesawat terbang misalnya
yang berhubungan dengan tanggung jawab pengangkut, batas-batas tanggung jawab
pengangkut serta masalah ganti rugi yang harus dibayarkan oleh pengangkut.
Pengaturan besarnya ganti rugi atau santunan menjadi perhatian utama bagi
penulis, mengingat peraturan mengenai ganti rugi itu sendiri masih mangacu pada
ordinansi zaman penjajahan yaitu Ordinansi Pengangkutan Udara (OPU) tahun 1939.
Pertimbangan pengaturan
OPU tahun 1939 dalam Konvensi Warsawa tanggal
12 Oktober 1929 adalah
“menyamakan beberapa ketentuan dalam pengangkutan udara internasional”,dalam
konvensi Warsawa antara lain diatur tentang “dokumen angkutan, tanggung jawab
dan beberapa ketentuan secara umum.”
Aturan
dalam pasal I Ordinasi Pengangkutan Udara (OPU) menentukan bahwa:
Ketentuan-ketentuan
ordonansi ini berlaku bila tidak berlaku ketentuan-ketentuan lain menurut
traktat yang diadakan di Warsawapada tanggal 12 Oktober 1929 dan yang mulai
berlaku di Indonesia pada tanggal 29 September 1933, yaitu perjanjian untuk menyeragamkan
beberapa ketentuan dalam hal pengangkutan udara internasional (S. 1933-347),
yang selanjutnya disebut traktat.
Tujuan
pengaturan Ordinasi Pengangkutan Udara adalah untuk mengisi kekosongan hukum
apabila terjadi masalah yang berkaitan dengan tanggung jawab pengangkutan
udara. Ordinasi Pengangkutan Udara mengatur tentang dokumen angkutan dan
tanggung jawab pengangkut dalam hal pengangkutan udara secara detail.
Bagian
Ordinasi Pengangkutan Udara II 1939 mengatur tentang hak dan kewajiban
pengangkut dan penumpang yang membawa bagasi. Kewajiban pengangkut dapat berupa
membayar ganti rugi apabila terjadi kehilangan atau kerusakan bagasi, sedangkan
hak penumpang adalah menerima pembayaran ganti rugi apabila terjadi kerusakan
atau kehilangan bagasi.
Ganti
rugi yang harus dibayar oleh pengangkut karena barang atau bagasi hilang
seluruhnya atau sebagian, diperhitungkan dengan harga barang yang sama jenis
dan sifatnya di tempat tujuan, pada waktu barang atau bagasi seharusnya
diserahkan, dengan dikurangi jumlah uang yang karena kehilangan itu tidak perlu
dibayarkan untuk biaya-biaya dan untuk pengangkutan.
Terjadinya
kerusakan atau kehilangan bagasi tidak dengan sendirinya merupakan tanggung
jawab dari pengangkut, tetapi harus memenuhi persyaratan-persyaratan.
Persyaratan tersebut antara lain tentang kewajiban
penumpang memegang
tiket.
Pasal
6 angka 1 dan 3 OPU 1939 menentukan bahwa: penumpang harus menyerahkan tiket
bagasi untuk mengambil bagasinya. Tiket bagasi tersebut harus dibuat dengan
rangkap dua, satu untuk penumpang, dan satu lagi untuk pengangkut udara. “Tidak
adanya tiket bagasi, merupakan suatu kesalahan di dalamnya atau hilangnya
bagasi tidak akan mempengaruhi adanya atau berlakunya perjanjian pengangkutan
udara.”
Akan
tetapi pengangkutan dibebani kewajiban, sesuai dengan pasal 6 ayat 5 yaitu “ia
tidak berhak mempergunakan ketentuan dalam OPU 1939 ini meniadakan atau membatasi
tanggung jawab pengangkut.”
Persyaratan
yang harus dipenuhi oleh pengangkut tersebut diatur dalam Pasal 6 OPU Ayat 4
Huruf d, f, dan h. Pasal 6 Ayat 4 Huruf d, menyatakan bahwa tiket bagasi harus
memuat nomor dari tiket penumpang. Pasal 6 Ayat 4 Huruf f menentukan bahwa
tiket bagasi harus memuat “jumlah dan beratnya barang-barang.”
Pasal
6 Ayat 4 Huruf h menentukan bahwa tiket bagasi harus memuat “Pemberitahuan,
bahwa pengangkutan bagasi ini tunduk pada ketentuan-ketentuan mengenai tanggung
jawab, yang diatur dalam OPU 1939 atau perjanjian (Warsawa).”
Hak
dari penumpang yang memiliki bagasi menuntut tanggung jawab pengangkut.
Tanggung jawab pengangkut terhadap bagasi apabila tiket bagasi sudah memenuhi
syarat-syarat yang ditentukan dalam pasal 6 Ayat 4 Huruf d, f, dan h.
Pengangkut
bertanggung jawab untuk kerugian yang terjadi antara lain akibat kemusnahan,
kehilangan atau kerusakan bagasi atau barang yang terjadi selama pengangkutan
berlangsung. Untuk penggantian kerugian tersebut ditentukan oleh pengangkut
sendiri tanpa memiliki pedoman yang jelas. Hal tersebut menimbulkan tidak
adanya kepastian hukum untuk melindungi penumpang (konsumen)
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang diatas, maka yang menjadi pokok permasalahan adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah ketentuan hukum dalam mengatur tanggung jawab pengangkut
udara terhadap bagasi penumpang bila terjadi kehilangan dalam pengangkutan ?
2. Bagaimanakah cara penyelesaian sengketa yang terjadi antara P.T
Garuda Indonesia dengan penumpang apabila terjadi sengketa (dr. Budiyanto)?
C. Tujuan Penulisan :
a. Untuk menambah dan memperluas ilmu pengetahuan penulis dalam bidang
hukum pengangkutan.
b. Untuk memberikan sumbangsih kepada pihak yang memerlukan informasi
hukum tentang tanggung jawab pengangkutan udara terhadap bagasi penumpang.
D. Manfaat Penulisan
a. Untuk mengetahui ketentuan hukum dalam mengatur tanggung jawab pengangkut
udara terhadap bagasi penumpang baik secara teoritis maupun dalam
pelaksanaannya khususnya di P.T Garuda Indonesia.
b. Untuk mengetahui tata cara penyelesaian sengketa antara P.T
Garuda Indonesia dengan penumpang bila terjadi sengketa.
E. Ruang Lingkup
Penulisan
Dalam
penulisan ini dan berdasarkan permasalahan-permasalahan diatas, maka penulis
membatasi ruang lingkup agar tidak menyebar ke topic lain yang tidak ada
hubungannya dengan topik penulisan ini. Agar penulis dapat lebih fokus pada
obyek permasalahan, penulis membatasi hanya lingkup pertanggung jawaban
pengangkutan udara bagasi penumpang menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009
tentang Penerbangan. Penulisan ini juga menjelaskan bagaimana prosedur
pertanggung jawaban pengangkutan udara terhadap bagasi penumpang menurut
Undang- undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
F. Metode Penelitian
Penelitian
ini merupakan panelitian deskriptif analisis, yaitu penelitian yang
menggambarkan dan menguraikan keadaan ataupun fakta yang ada tentang hukum
mengenai tanggung jawab pengangkutan udara terhadap bagasi penumpang pada P.T
Garuda Indonesia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Pengangkutan Udara, Pengangkut, Penumpang, Bagasi,
dan Perjanjian
Pengangkutan Udara
Menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan yang dimaksud dengan
angkutan udara adalah “setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk
mengangkut penumpang, kargo, dan pos untuk satu kali perjalanan atau lebih dari
satu bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara.”
Pengangkutan
berasal dari kata dasar angkut yang berarti angkat dan bawa, muat dan bawa atau
kirimkan. Mengangkut artinya mengangkat dan membawa, memuat dan membawa atau
mengirimkan.
Pengangkutan
artinya pengangkatan dan pembawaan barang atau orang, pembuatan dan pengiriman
barang atau orang, barang atau orang yang diangkut. Jadi dalam pengertian ini
tersimpul suatu proses kegiatan atau gerakan dari satu tempat ke tempat yan
lain.
Untuk
menyelenggarakan pengankutan ini, terlebih dahulu harus ada perjanjian antara
pengangkut dan penumpang. Perjanjian pengangkutan selalu diadakan secara lisan
tetapi didukung oleh dokumen-dokumen pengangkutan yang membuktikan bahwa
perjanjian sudah terjadi.
Menurut
E. Suherman dalam bukunya yang berjudul Masalah Tanggung Jawab Pada Charter
Pesawat Udara dan Beberapa Masalah lain dalam Bidang Penerbangan. bahwa: Perjanjian
pengangkutan udara dalam arti sempit adalah sebagai suatu perjanjian antara
seorang pengangkut udara dengan pihak penumpang atau pihak pengirim barang
untuk mengangkut penumpang atau barang dengan pesawat udara. Dalam arti yang
lebih luas sebagai suatu perjanjian angkutan udara yang dapat merupakan
sebagian dari suatu perjanjian pemberian jasa dengan pesawat udara.
Menurut
Abdulkadir Muhammad perjanjian pengangkutan udara adalah: Persetujuan dengan
mana pengangkut mengikatkan diri untuk meneyelenggarakan pengangkutan barang
dan/atau penumpang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat,
dan pengirim atau penumpang mengikatkan diri untuk membayar biaya
pengangkutan.
Menurut
R. Soekardono perjanjian pengangkutan Udara adalah: Perjanjian timbal balik,
pada mana pihak pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan
barang dan/atau orang ke tempat tujuan tertentu, sedangkan pihak lainnya
(pengirim-penerima, pengirim atau penerima, penumpang), berkeharusan untuk
menunaikan pembayaran tertentu untuk pengangkutan tersebut.
B. Tanggung Jawab
Pengangkut Dalam Hukum Pengangkutan Udara
Suatu
perjanjian pada umumnya bersifat kosensual, artinya perjanjian dianggap ada
sejak tercapainya kesepakatan di antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok
dari perjanjian itu, misalnya pada perjanjian jual-beli, dimana perjanjian ini
dianggap sudah lahir dengan segala akibat hukumnya, apabila telah terjadi
kesepakatan antara penjual dengan pembeli mengenai harga dan barang.
Perjanjian
pengangkutan udara pun mempunyai sifat yang konsensual, oleh karena perjanjian
ini dianggap lahir pada saat terjadinya kesepakatan antara pengangkut dan/atau
pengirim barang mengenai jasa dan harga akan tetapi walaupun perjanjian
pengangkutan ini sudah dianggap lahir pada saat terjadinya kesepakatan, namun
tidak berarti bahwa pelaksanaan perjanjian itupun terjadi pada saat yang sama
karena pelaksanaannya sering ditangguhkan terlebih dahulu.
Hal
tersebut sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Soegijatno Tjakranegara,
yaitu: Perjanjian pengangkutan ini adalah concelsuil (timbal balik) dimana pihak
pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dari dan
ke tempat tujuan tertentu dan pengirim barang membayar ongkos angkutan
sebagaimana yang disetujui bersama.
Saat
mulai terjadinya pengangkutan pada perjanjian pengangkutan barang
kiriman dan pengangkutan
bagasi adalah sama, yaitu ketika barang kiriman atau bagasi berada di bawah
pengawasan pengawasan pengangkut. Pada pengangkutan barang kiriman, pemuatan
dan penyerahannya dapat terjadi diluar lapangan terbang, bahkan menurut
ketentuan dalam pasal 25 ayat (3) Ordinansi Pengangkutan Udara 1939, dapat pula
meliputi pengangkutan darat, pengangkutan laut dan pengangkutan sungai,
sepanjang hal itu dilaksanakan dalam hubungannya dengan pemuatan, penyerahan
atau pemindahan muatan.[1]
Maksud
kalimat diatas pemuatan dan penyerahan meliputi pengangkutan darat yaitu apabila daerah
tujuan barang kiriman tersebut tidak dapat dijangkau oleh pesawat terbang, karena
tujuan itu merupakan daerah terpencil, jadi harus menggunakan pengangkutan darat yang dapat
menjangkau hingga sampai tujuan,
demikian pula dengan penyerahan yang meliputi pengangkuatan laut dan sungai. Sedangkan
pengangkutan bagasi, pemuatan dan penyerahannya selalu terjadi dilapangan terbang, kecuali
apabila terjadi pendaratan diluar lapangan
terbang.
Melihat
pengertian terjadinya suatu pengangkutan udara dapat bermacam-
macam maka untuk
menentukan saat mulai dan berakhirnya pengangkutan udara, terlebih dahulu perlu
diketahui apakah pengangkutan itu terjadi dalam perjanjian pengangkutan
penumpang dan/atau bagasi. Pengangkutan bagasi terjad selama barang-barang
penumpang berada dalam pengawasan pengangkutan, yaitu mulai pada saat penumpang
menyerahkan barangnya kepada pengangkut untuk diangkut ketempat tujuan dan
berakhir pada saat tiba ditempat tujuan, maka saat itu pula berlaku tanggung
jawab pengangkut atas bagasi.
BAB III
PEMBAHASAN
Sengketa Yang Timbul Antara
PT. Garuda Indonesia Dengan dr.Budiyanto
Angkutan udara dewasa ini semakin berkembang karena angkutan udara
dinilai merupakan alat transportasi yang cepat dan efisien. Tetapi disamping kelebihan
tersebut terdapat juga kekurangan yaitu sering terjadi kehilangan bagasi yang
dibawa penumpang, hal ini disebabkan karena kesalahan petugas dari pengangkutan
udara karena kurang teliti menjaga barang penumpang. Kesalahan tersebut tidak
hanya terjadi pada dr. Budiyanto sebagai penumpang tetapi juga terhadap
penumpang yang lain. “Hal itu dikemukakan dr. Budiyantodalam warta konsumen”
Pada hari Kamis tanggal 20 April 2006 dr. Budiyanto beserta rekan berangkat
ke Medan dengan pesawat GA 194, pukul 17.00 (kode booking Q7HPRQ). Waktu check-in
kami sepakat menyatukan bagasi kami atas satu nama. Alangkah menjengkelkan saat
di Medan Ternyata satu bagasi berisi pakaian dan buku penumpang tidak
ditemukan. dr. Budiyanto lalu mengadukan kehilangan bagasinya. Setelah mengisi
formulir kehilangan bagasi, petugas tidak dapat memberikan informasi yang jelas
kemana bagasi yang lenyap Sama halnya dengan bagian Loss and
Found di Jakarta dan Garuda Centre yang tak
satupun mengetahui keberadaan bagasi saya. Padahal bagasi itu berisi sebagian
buku dan pakaian yang akan digunakan keesokan harinya.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Sebagai Pihak
Ketiga Dalam Penyelesaian Sengketa Antara PT. Garuda Indonesia Dengan
dr.Budiyanto
Dalam penyelesaian sengketa antara PT. Garuda
Indonesia dengan dr. Budiyanto, juga melibatkan pihak ketiga yaitu Yayasan
Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sebagai penengah dalam mendamaikan kedua
belah pihak. Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 47 UU No.8 tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen
proses serta mekanisme penanganan pengaduan
di YLKI melalui beberapa cara:
Pertama,
cara yang dapat dilakukan untuk mengadu adalah melalui telepon, surat atau
dating langsung. Pengaduan melalui telepon dikategorikan menjadi dua, yaitu :
1) hanya meminta informasi
atau saran, maka telepon itu cukup dijawab secara lisan pula dan diberikan
saran pada saat itu dan selesai
2) pengaduan untuk
ditindaklanjut. Jika konsumen meminta pengaduannya ditindaklanjuti, maka si
penelepon diharuskan mengirimkan surat pengaduan secara tertulis kepada YLKI
yang berisi:
a) kronologis kejadian yang
dialamisehingga merugikan konsumen
b) wajib mencantumkan
identitas dan alamat lengkap konsumen. Kalau ada nomor telepon perlu disertakan
juga dengan tujuan untuk memudahkan komunikasi. Jika dalam proses administrasi
ada yang tidak lengkap, konsumen dapat segera diberitahu untuk melengkapinya. Pengadu/konsumen
juga harus mencantumkan nama dan alamat pelaku usaha jika ada dan
c) menyertakan barang bukti
atau fotocopy dokumen pelengkaplainnya. Kedua setelah surat masuk ke YLKI,
resepsionis meregister semua surat- surat yang masuk secara keseluruhan
(register I). Selanjutnya surat diberikan kepada Pengurus Harian untuk
didisposisi ke masing-masing bidang di YLKI.
Untuk surat pengaduan konsumen, isi disposisi dari Pengurus Harian
setidaknya ada tiga yaitu ;
(a)
ditndaklanjuti atau tidak ditindaklanjuti
(b)
bukansengketa konsumen
(c) bukan
skala prioritas. Untuk surat pengaduan didisposisi ke bidang Pengaduan dan
dilakukan register II khusus untuk pangaduan konsumen sebagai data pengaduan.
Adapun register tersebut meliputi nomor urut, nomor register dan komoditas
pengaduan konsumen, nama dan alamat konsumen, nama dan alamat pelaku usaha, permasalahan dan keterangan. Selanjutnya surat
pengaduan yang sudah deregister tersebut diserahkan kepada personil
masing-masing yang menangani komoditi tersebut.
Ketiga, setelah surat sampai ke
personil yang menangani maka dilakukan seleksi administrasi oleh personil
pengaduan. Seleksi administrasi disini berupa kelengkapan secara administrasi
yaitu nama dan alamat lengkap konsumen, data atau dokumen yang disertakan. Jika
hal ini belum lengkap, maka personil melakukan kontak melalui telepon atau
korespondensi ke konsumen untuk melengkapinya.
Jika memang sudah lulus
seleksiadministrasi dan dirasa cukup, maka tindakan selanjutnya yang dilakukan
olehpersonil Bidang Pengaduan adalah seleksi substansi dari pengaduan
tersebutdan lebih memprioritaskan kepada :
(a) pengaduan konsumen akhir. Adapundasar hukum
yang digunakan YLKI untuk mendefinisikan konsumen akhiradalah sebagaimana
tercantum dalam Pasal 1 butir 2 UUPK Nomor 8Tahunkonsumen akhir adalah
sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 butir 2UUPK Nomor 8 Tahun 1999 yaitu
“konsumen adalah setiap orang pemakaibarang dan/ataau jasa yang tersedia dalam
masyarakat baik untuk kepentingandirinya sendiri, keluarga, orang lain maupun
mahkluk lain dan tidak untuk diperdagangkan.”
(b) bukan masalah persaingan bisnis
(c) konsumen yangtidak mampu secara sosial ekonomi
dan tidak mempunyai akses informasi yang cukup
(d) konsumen tidak melibatkan pihak ketiga.
Artinya dalam penyelesaian kasus ini konsumen tidak menggunakan jasa pengacara.
(e) jika diketahui konsumen menggunakan atau
didampingi pengacara, maka YLKI menyampaikan kepada konsumen kembali. Dengan
demikian YLKI dapat menangani kasus lain. Langkah yang selanjutnya setelah
proses administrasi dan analisis substansi, yaitu korespondensi kepada pelaku
usaha dan istansi yang terkait sehubungan dengan pengaduan konsumen.
Pada tahap pertama korespondensi biasanya
adalah meminta tanggapan dan penjelasan mengenai kebenaran dari pengaduan
konsumen tersebut. Di sini YLKI memberikan kesempatan dan mendengarkan dari
kedua belah pihak yaitu versi konsumen dan versi pelaku usaha. Tidak jarang
juga dengan adanya korespondensi ini kasus dapat diterima masing-masing pihak
dengan memberikan jawaban surat secara tertulis kepada YLKI, yang isinya
permintaan maaf kepada konsumen dan sudah dilakukan penyelesaian langsung kepada
konsumennya. Bila demikian, maka kasus dinyatakan selesai setelah mendapat informasi
dari pihak yang bersengketa.
Namun demikian,. Tidak menutup
kemungkinan dalam korespondensi ini masing-masing pihak tidak menjawab
persoalan dan bersikukuh dengan pendapatnya. Dalam kondisi seperti ini YLKI
dituntut agar dapat mengambil inisiatif dan pro aktif untuk menjadi mediator.
YLKI kemudian membuat surat surat untuk mediasi kepada para pihak yang
bersengketa untuk mencari solusi terbaik. Inisiatif untuk mempertemukan para
pihak yang bersengketa dengan YLKI sebagai fasilitator, bisa juga berasal dari
pelaku usaha atau konsumen dengan memperhatikan kasus per kasus.
Yang menjadi dasar hukum digunakannya
proses mediasi terdapat dalam Pasal 6 ayat (1) yang menyatakan bahwa “sengketa
dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternative penyelesaian sengketa”,
maksudnya dalam hal ini mediasi. “Pada saat proses mediasi dibuka, sebelumnya
sebagai mediator, YLKI menanyakan siapa saja yang akan hadir pada saat mediasi dari
masing-masing pihak.”
Sasaran pertama yang dituju adalah
pelaku usaha. YLKI akan menanyakan siapa yang ditujnjuk sebagai wakil pelaku
usaha dalam proses mediasi, apa jabatan/posisinya, dan apakah wakil tersebut
punya kapasitas untuk mengambil keputusan dalam kasus tersebut. Jika ternyata
sang wakil tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk mengambil keputusan, maka
untuk menghindari terjadinya kesalahan intepretasi, akan dilakukan sebagai konsultasi/
pembicaraan agar pelaku usaha menghadirkan wakil yang
mempunyai
kapasitas sebagai pengambil keputusan. Dengan demikian, kasus dapat diharapkan
dapat selesai dengan hanya satu pertemuan saja, melalui opsi- opsi yang
diputuskan dan disepakati bersama oleh para pihak yang bersengketa.
Setelah YLKI mendapat nama dan alamat
dari para pihak yang bersengketa serta bertemu dengan mereka, selanjutnya
sebagai mediator, YLKI akan menjelaskan kepada para pihak apa itu mediasi dan
tujuan diadakannya mediasi tersebut. Setelah duduk bersama, YLKI kemudian memberikan
kesempatan kepada masing-masing pihak untuk menjelaskan duduk perkara yang
sebenarnya tanpa boleh dipotong oleh pihak lain sebelum pihak pertama selesai
memberikan penjelasan. Setelah masing-masing pihak
selesai
menyampaikan masalahnya, maka YLKI memberikan waktu untuk
Hasil wawancara dengan YLKI.klarifikasi dan koreksi
tentang apa yang telah disampaikan oleh masing-masing pihak. Setelah
permasalahannya diketahui, maka masing-masing pihak berhak menyampaikan opsi
atau tuntutan yang diinginkan, sekaligus melakukan negosiasi untuk mencapai
kesepakatan. Apabila telah dicapai kesepakatan, maka isi kesepakatan tersebut
selanjutnya dituangkan dalam Berita Acara
Kesepakatan. Tahap akhir dari proses
mediasi adalah mengimplementasikan hasil kesepakatan. Dalam melakukan
penyelesaian kasus secara mediasi, ada dua kemungkinan yang bisa terjadi yaitu
:
(1) kesepakatan
tercapai artinya selesai;
(2) tidak terjadi kesepakatan alias deadlock. Namun
proses mediasi lebih efektif dan memudahkan untuk segera terselesaikannya kasus
yang ada.
Prosedur Penuntutan Ganti Kerugian Penumpang kepada PT. Garuda
Indonesia
PT. Garuda Indonesia yang bergerak dibidang
angkutan udara memberikan pelayanan angkutan udara mulai dari keberangkatan dan
kedatangan orang-orang yang menggunakan jasa penerbangan. Pelayanan dibidang
ini tidak bias dianggap mudah, sebab melayani orang-orang yang beraneka ragam
latar belakangnya. Kekeliruan pelayanan terhadap penumpang terutama terjadi
pada bagasi mereka. Khususnya bagasi yang diserahkan pada pihak Perusahaan Pengangkutan
Udara terkadang sulit untuk dapat diterima oleh pengguna jasa tersebut.
Seringkali kedapatan bagasi penumpang
hilang, tertukar, label, salah kirim,label bagasi tidak ada, atau isi bagasinya
hilang atau kurang. Biasanya mereka langsung menuntut pada Airlines yang mereka
gunakan. Dalam hal ini yang bertanggung jawab adalah bagian Lost and Found yang
bertugas menagani bagasi penumpang.
Kerugian
dengan terjadi klaim bagasi, selain harus mengganti biaya
kehilangan
ataupun kerusakan bagsivpenumpang, juga mengakibatkan kesan
yang
kurang baik di kemudian hari.
PT. Garuda Indonesia sebagai
perusahaan yang bergerak dibidang jasa angkutan udara, terus meningkatkan mutu
pelayanan dan kemampuan serta disiplin para pegawainya dalam menangani bagasi
penumpang, kemungkinan bagasi hilang atau rusak dan lain sebagainya dapat lebih
ditekan. Sehingga pelayanan jasa terhadap para wisatawan yang akan dating lebih
baik dan menimbulkan kesan yang baik pula. Hal ini sangat penting bagi pengguna
jasa penerbangan pada umumnya.
Macam-macam
bagasi menurut Felix Hadi Mulyanto, adalah sebagai
berikut
:
1.
Checked Baggage
Bagasi
yang di check atau dicatat, dan diserahkan kepada airlines (pengangkut) untuk ditimbang
dan dimasukkan kedalam ruang bagasi. Bagasi ini menjadi tanggung jawab
pengangkut yang mana dikeluarkan labl bagasi tertentu atau tercatat sebagai
tanda terima.
2.
Unchecked Baggage
Bagasi
yang boleh dibawa masuk kedalam cabin pesawat untuk keselamatan dan kegunaan
penumpang, pada waktu check in diberitahu untuk tidak membawa bagasi cabin
lebih dari satu potong sebagai pembatasan. Setiap bagasi cabin yang dibawa
penumpang
untuk masuk didalam cabin harus melewati security check terlebih dahulu. Setiap
bagasi cabin besarnya tidak boleh lebih dari 115 cm/45 cm yaitu dengan
perincian ukuran 56 cm + 36 cm + 23 cm ( panjang + tinggi + lebar ) sehingga
dapat diletakkan
dibawah
kursi penumpang atau dibagian atas ditempat penyimpanan tas. Dengan begitu akan
membuat penumpang lebih nyaman duduk sehingga dapat menikmati perjalanan.
3.
Carry On Baggage
Bagasi
yang boleh dibawa penumpang masuk kedalam pesawat ( cabin) selain bagasi yang
telag disebutkan diatas, abarang-barang tersebut antara lain :
a.Sebuah
tas tangan wanita, dompet wanita
b.Sebuah
mantel, slayer, atau selimut
c.Payung
atau tongkat untuk alat Bantu
d.Kamera
kecil atau sepasang teropong
e.Beberapa
buku bacaan untuk dibaca selama penerbangan
4.
IATA ( International Air Transport Association)
Free
artcle atau barang-barang yang boleh dibawa masuk kedalam
cabin
menurut peraturan IATA adalah :
a.Tas
tangan wanita, buku bacaan saku, dompet
b.Bahan
bacaan yang masuk akal untuk dibaca selama penerbangan
c.Patung
atau tongkat untuk jalan
d.Baju
tebal atau selimut
e.Makanan
bayi untuk persediaan selama perjalanan
Adapun
prosedur-prosedur untuk melacak bagasi yang
dilaporkan
hilang memerlukan tindakan-tindakan berikut :
1.
Gunakan formulir standar PIR untuk mencatat data mengenai bagasi yang kurang
atau hilang
2.
Catatlah keterangan-keterangan yang terperinci mengenai penumpang, rute
perjalanannya bagasi yang dinyatakan hilang serta klaim tag yang relevan
3.
Gunakan daftar pengenalan bagasi atau airline baggage indentifikation chart
untuk mengenali bagasi yang kurang atau hilang dan mempersilahkan penumpang
yang bersangkutan untuk mengenali bagasi dan selanjutnya kita catat nomor sandi
pengenal
bagasi bersangkutan pada formulir PIR
4.
sebelum mengirim berita kehilangan, terlebih dahulu diadakan pengecekkan
kembali dipesawat dan sekitarnya, areal penerimaan bagasi penumpang maupun
gudang penerimaan barang muatan kargo.
5.
mengirim berita keseluruh stasiun udara yang berhubungan dengan rute perjalanan
penumpang dari stasiun udara keberangkatan, termasuk stasiun-stasiun udara sepanjang
rute perjalanan. PT. Garuda Indonesia memberikan pelayanan jasa kepada penumpang
dan bagasinya yang disebut dengan Post Flight Service.
Adapun
pelayanan ini meliputi :
1.
Disembarking (Pendaratan)
Setelah
pesawat mendarat, penumpang memasuki exit gate menuju arrival
hall untuk mengurus dokumen-dokumen yang diperlukan di Post Health and
Immigration Counter, dan pada saat yang sama bagasi telah diturunkan dan
diletakkan pada ban berjalan (convoyerbelt).
2.
Baggage Delivery (Penyerahan Bagasi)
Penumpang
mengambil bagasinya masing-masing, selanjutnya mereka Memeriksa bagasinya pada
Bea dan Cukai. Penumpang dapat menggunakan jalur hijau jika penumpang tidak
membawa barang yang tidak perlu diberitahukan, dan jika membawa melalui jalur merah.
Dalam praktek seorang penumpang
melalui ketidakberesan terhadap bagasinya, PIR akan dikeluarkan sebagai bukti
bahwa penumpang tersebut telah melaporkan tentang kehilangan bagasi atau
kerusakan lain. Bila sampai batas waktu tertentu penumpang belum mendapatkan
bagasinya yang hilang, maka PIR tersebut merupakan bukti untuk melaksanakan
ketentuan ganti kerugian kepada perusahaan penerbangan.
Adapun
syarat-syarat pengisian PIR adalah sebagai berikut :
1.
Nomor Baggage claim tag
2.
Nomor passenger ticket
3.
Nomor excess baggage tiket bila diperlukan
4.
Penumpang terdaftar dimanifest penumpang
5.
Pada saat klaim diajukan, penumpang belum meninggalkan terminak
kedatangan
Dalam praktek yang lama diketahui
adalah ketidakberesan bagasi harus dilaporkan sebelum meninggalkan ruang
kedatangan. Bila telah keluar dari tempat ini, maka pengaduan akan ditolak.
Dalam pengisian PIR diperlukan tiga lembar, yang berfungsi untuk :
1.
lembar 1 berwarna putih untuk bagian Claim Department Jakarta
2.
lembar 2 berwarna merah muda untuk penumpang
Setelah
membuat PIR, penumpang menunggu pengurusan bagasi, apakah bagasi tersebut
hilang, tertukar, salah label, dan lain-lain. Apabila sudah jelas bagasi tidak
dapat ditemukan, maka penumpang yang bersangkutan diberikan ganti rugi. Adapun
ganti rugi yang diberikan Lost and Found PT. Garuda Indonesia adalah sebagai
berikut :
1.
Kehilangan bagasi
Ganti rugi diberikan berdasarkan kelas
dan system dengan berat per kilogram. Dan batas waktu pencarian bagasi adalah
15 hari dari tanggal pelaporan. Adapun penggantian kehilangan sebesar :
a.
untuk sektor Domestik maksimal IDR 100.000/kg
b.
untuk sector Internasional US $ 20/kg
Untuk selanjutnya dalam batas waktu
yang ditentukan, penumpang berhak membuat tuntutan ke perusahaan penerbangan
yang bersangkutan. Apabila penumpang berkeberatan atas penggantian biaya
tersebut, maka diminta menulis surat untuk diteruskan ke JKTLZGA untuk mendapat
persetujuan keberatan tersebut. Apabila disetujui, penumpang dapat mengambil penggantian
tersebut kebagian Baggage Department dengan menunjukkan copy
PIR, tiket, dan paspor.
2.
Kerusakan bagasi
Untuk penumpang yang bagasinya rusak,
dan kerusakannya memang disebabkan selama pengangkutan berlangsung, maka
penggantiannya sama dengan kehilangan bagasi, yaitu :
a.
untuk sektor Domestik maksimal IDR 100.000/kg
b.
untuk sector Internasional US $ 20/kg
3.
Kehilangan sebagian isi dari bagasi
Bagian Lost and Found PT. Garuda
Indonesia akan memberikan biaya penggantian dengan menimbang kembali apakah
benar berat bagasi berkurang atau tidak, sesuai dengan berat yang tertera di
claim tag.
Apabila
ternyata isi bagasi kurang maka akan diberikan biaya penggantian
sesuai
dengan ketentuan :
a.
untuk sektor domestik, selisih dari berat bagasi yang hilang maksimal
IDR
100.000/kg
b.
untuk sektor internasional, selisih dari berat bagasi yang hilang US $
20/kg
4.
Bagasi terlambat
Bagasi yang terlambat yang disebabkan
pada waktu check in atau saat bagasi diturunkan dari kompartemen bagasi. Bila
bagasi penumpang sudah ditemukan, maka staff Lost and Found akan
menginformasikan kepada penumpang tersebut dan mengirimkannya ke alamat sesuai
permintaan. Setelah bagasi diterima, maka penumpang akan diminta menandatangani
formulir penyerahan bagasi.
ANALISIS TANGGUNG JAWAB PENGANGKUTAN
UDARA TERHADAP BAGASI PENUMPANG PADA PT
GARUDA INDONESIA
A.
Ketentuan Hukum Dalam MengaturTanggung Jawab Pengangkutan
Udara
Terhadap Bagasi Penumpang Dalam Pengangkutan
Adapun ketentuan hukum yang terkait
dengan tanggung jawab
pengangkut
udara terhadap hilangnya bagasi penumpang.
1.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) :
a.
Pasal 1234 KUHPerdata, yaitu tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan
sesuatu, untuk berbuat dan untuk tidak berbuat sesuatu.
b.
Pasal 1236KUHPerdata, yaitu pengangkut wajib memberi ganti rugi atas biaya dan
rugi bunga yang layak harus diterima, bila tidak dapat menyerahkan atau tidak
merawat sepantasnya untuk menyelamatkan barang-barang angkutan
c.
Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu untuk sahnya suatu perjanjian
diperlukan
empat syarat :
1)
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya,
2)
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan,
3)
Suatu hal tertentu,
4)
Suatu sebab yang halal.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis
berpendapat bahwa KUHPerdata memberikan dasar hukum berkaitan dengan tanggung
jawab pengangkutan melalui perikatan/perjanjian antara dua pihak. Apabila
keduanya sepakat dan memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalm
KUHPerdata maka terjadilah perjanjian keduanya dan sah di mata hukum.
2.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen:
a.
Pasal 1 ayat (1) perlindungan konsumen yaitu segal sesuatu yang menjaminadanya
kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.
b.
Pasal 4 tentang hak konsumen adalah:
1)
Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/
jasa;
2)
Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3)
Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi
dan
jaminan barang dan/atau jasa;
4)
Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atau barang dan/atau jasa yang
digunakan;
5)
Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut;
6)
Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;
7)
Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminaif;
8)
Hak untuk mendapatkan dispensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, jika barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya;
9)
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yamg lain .
c.
Pasal 5 tentang kewajiban konsumen adalah :
1)
Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
2)
Beritikad baik dalam melaukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
3)
Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
4)
Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
d.
Pasal 6 tentang hak pelaku usaha :
1).
Hak untuk menerima pembyaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi
dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
2).
Hak untuk mendapat perlindungan hukum
dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
3).
Hak untuk melakukan Pembelaan diri sepatunya di dalam penyelesaian hukum
sengketa konsumen;
4).
Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hokum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
5).
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan
lainnya.
e.
Pasal 7 tentang kewajiban pelaku usaha :
1)
beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
2)
memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan;
3)
memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
4)
Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
5)
Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang
dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang
dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
6)
Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
7).
Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian dan/atau jasa yang diteirma
atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
f.
Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) jo. Pasal 49 ayat (1) jo. Pasal 52 butir a
tentang
penyelesaian sengketa konsumen.
Pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen memberikan kepastian hukum dan perlindungan
kepada konsumen, namun konsumen harus memenuhi kewajiban yang ditentukan dalam
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999.
Apabila kewajiban dipenuhi maka hak konsumen dilindungi.
3.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan :
a.
Pasal 240 ayat (1) dan ayat (2), menyatakan bahwa badan usaha Bandar udara yang
melakukan kegiatan angkutan udara bertanggung jawab atas kematian atau lukanya
penumpang yang diangkut dan musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut
serta keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut apabila
terbukti hal tersebut merupakan kesalahan pengangkut.
b.
Pasal 240 ayat (3) menyatakan bahwa resiko atas tanggung jawab terhadap
kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1) wajib diasuransikan.
4.
Peraturan Pemerintah nomor 40 Tahun 1995 Tentang Angkutan Udara :
a.
Pasal 42 menyatakan bahwa perusahaan angkutan udara yang melakukan kegiatan angkutan
udara niaga berjadwal bertanggung jawab atas :
1).
Kematian atau lukanya penumpang yang diangkut,
2).
Musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut,
3).
Keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut apabila terbukti
hal tersebut merupakan kesalahan pengangkut.
b.
Pasal 44 ayat (1) yaitu jumlah ganti rugi untuk kerugian bagasi tercatat, termasuk
kerugian karena kelambatan dibatasi setinggi-tingginya Rp.100.000,00 (seratus
ribu rupiah) untuk setiap kilogram.
c.
Pasal 44 ayat (2) yaitu jumlah ganti rugi untuk kerugian bagasi kabin, karena kesalahan
pengangkut dibatasi setinggi-tingginya Rp.1000.000,00 (satu juta rupiah) untuk
setiap penumpang
d.
Pasal 44 ayat (3) yaitu jumlah ganti rugi untuk kerugian kargo, termasuk kerugian
karena kelambatan, kesalahan pengangkut dibatasi setinggi- tingginya
Rp.100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk setiap kilogram.
5.
Ordinansi Pengangkutan Udara (Luchtvervoer Ordonantie-Staatblad 1939 Nomor 100.
a.
Pasal 25 ayat (1) yaitu pengangkut bertanggung jawab untuk kerugian yang
terjadi sebagai akibat dari kemusnahan, kehilangan atau kerusakan bagasi atau
barang bilamana kejadian yang menyebabkan kerugian itu terjadi selama
pengangkutan udara.
b.
Pasal 25 ayat (2) yaitu pengangkutan udara seperti yang dimaksud oleh ayat
diatas, meliputi juga waktu bagasi atau barang tersebut berada dibawah
pengawasan pengangkut; baik dilapangan terbang atau dimana saja dalam hal
pendaratan diluar lapangan terbang, atau dalam pesawat terbang.
c.
Pasal 25 ayat (3) yaitu waktu pengangkutan udara tidak meliputi pengangkutan di
darat, laut atau sungai, yang dilaksanakan diluar suatu lapangan terbang. Akan
tetapi bila pengangkutan semacam ini dilakukan untuk melaksakan suatu
persetujuan pengangkutan udara, dalam hubungan dengan pemuatan, penyerahan atau
pemindahan
muatan,
maka pengangkut bertanggung jawab untuk semua kerugian, seolah-olah kerugian
ini timbul sebagai akibat dari suatu kejadian selama pengangkutan udara;
kecuali pengangkut dapat membuktikan bahwa kerugian itu adalah akibat dari
suatu kejadian yang tidak terjadi selama pengangkutan udara.
d.
Pasal 26 yaitu ganti rugi yang harus dibayar oleh pengangkut karena barang atau
bagasi hilang seluruhnya atau sebagian, diperhitungkan dengan harga dari barang
yang sama macam dan sifatnya ditempat tujuan, pada waktu barang atau bagasi
seharusnya diserahkan, dengan dikurangi jumlah uang yang karena kehilangan itu
tidak perlu
dibayarkan
untuk biaya-biaya dan untuk pengangkutan.
e.
Pasal 27 yaitu pada kerusakan barang atau bagasi harus dibayarkan sebagai ganti
kerugian jumlah uang, yang diperoleh dengan mengurangi harga yang dumaksudkan
dalam pasal 26 dengan harga barang yang rusak dan beda ini dikurangi dengan
jumlah uang yang karena kerusakan ini tidak usah dibayarkan dengan biaya-biaya
dan untuk
pengangkutan.
Ordinansi Pengangkutan Udara 1939 memberikan pembatasan pertanggung jawaban
kepada pengangkut, dan juga mengenai hak penumpang yang dirugikan.
Dari uraian diatas, penulis dapat
menyimpulkan bahwa ketentuan- ketentuan tersebut sudah dapat memberikan
perlindungan hukum bagi pengangkut dan penumpang dalam hal hilangnya bagasi
penumpang karena ketentuan tersebut diatas telah mengatur mengenai hak dan kewajiban
para pihak, yaitu baik pengangkut maupun penumpang.
Selain itu, penulis juga melihat
adanya keharmonisan antara satu ketentuan dengan ketentuan lain sehingga tidak
ada tumpang tindih atau bertentangan satu sama lainnya yang dapat melemahkan
salah satu ketentuan tersebut.
Cara Penyelesaian Sengketa Yang Terjadi Antara PT. Garuda
IndonesiaDengan dr. Budiyanto
Berdasarkan kasus posisi yang dikemukakan
berikut dapat dilihat dari proses yang dipergunakan dalam penyelesaian
sengketa. Penumpang Garuda Indonesia turun dari pesawat, setelah mengurus
surat-surat pada Port Health and Imigration, ia
menuju Conveyor-belt untuk mengambil bagasi. Setelah hampir
semua meninggalkan terminal, ternyata bagasi penumpang tersebut memang tidak
ada. Kehilangan bagasi seperti diatas dapat terjadi karena berbagai sebab,
antara lain :
1.
Kesalahan memasang label
2.
Tag hilang
3.
Tidak ada tag di tempat tujuan
4.
Dimuat dalam container dan pesawat yang salah
5.
Mengapalkan barang dalam waktu singkat
6.
Perjalanan yang tidak bersambung
7.
Kesalahan mengambil oleh penumpang lain
8. Check
in di saat check in counter akan ditutup
Setelah bagian lost and found menerima
pengaduan dari dr. Buditanto dan telah memenuhi prosedur maka petugas lost and
found akan melakukan pencarian atas bagasi yang hilang tersebut. Dan apabila
hasil tracing menyatakan bahwa bagasi tersebut tidak ditemukan maka penumpang
akan diberikan ganti kerugian oleh PT Garuda Indonesia.
Adapun
prosedur penanganan kehilangan bagasi yang dilakukan oleh pengangkut adalah
sebagai berikut :
Tindakan
yang harus dilakukan adalah :
Ketika penumpang melaporkan kehilangan
bagasi di Arrival Hall tempat
tujuan,
ia harus melaporkan kebagian Lost and Found yang bersangkutan
secepatnya,
yaitu :
1.
Mengisi PIR,
2.
Memulai pemeriksaan pada ruangan bagasi setempat di tempat penyortiran bagasi,
3. Jika pencarian di sekitar tanpa hasil maka
kirimkan pesan kehilangan bagasi ke asal stasiun dimana bagasi dikirimkan dan
ke stasiun-stasiun lain. Jika bagasi masih belum ditemukan maka
menginformasikan kepada penumpang melalui telepon untuk memberitahukan bahwa ia
harus segeran mengisi formulir tuntutan dan dikembalikan setelah ditandatangani
sebagaimana
mestinya.
Dokumen
untuk menuntut bagasi disertai dengan :
1.
Formulir tuntutan atau surat tuntutan yang ditandatangani oleh
penumpang,
2.
PIR
3.
Tiket asli dan daftar nama penumpang,
4.
Baggage claim tag asli
5. Semua salinan telex
pencarian bagasi,
Setelah
tuntutan disetujui oleh Airlaines, dilengkapi dengan :
f.
Formulir pernyataan pembebasan barang,
g.
Kwintansi (jumlah ganti yang dibayarkan)
Pada kenyataannya setelah dilakukan
pencarian melalui mesin telex. Ada dua kemungkinan jawaban terhadap penumpang
yang mengalami kehilangan bagasi, yaitu ditemukan atau hilang sama sekali.
Tidak diketemukannya bagasi kemungkinan bisa terjadi karena:
1.
Salah mengambil atau tertukarnya bagasi oleh penumpang lain dan karena alasan-alasan
tertentu ia tidak mengembalikan bagasi tersebut.
2.
Bagasi dicuri orang.
3.
Label hilang sama sekali \, biasanya barang yang berbentuk koper, bila labelnya
hilang akan sulit untuk mengidentifikasinya.
Bila saja sampai batas waktu yang
telah ditentukan dan bagasi belum ditemukan juga maka sesuai prosedur yang
berlaku, penumpang yang bersangkutan boleh mengajukan tuntutan. Untuk bagasi
yang diketemukan, secara normal bagasi itu dikirimkan melalui pesawat udara yang
akan mendarat di stasiun pengiriman pesan dengan dicantumi label “Rush”.
Langkah selanjutnya petugas Lost and Found memberikan informasi
kepada penumpang yang bersangkutan untuk mengambil
bagasinya
melalui telepon atau surat.
Beberapa
syarat yang harus diperhatikan untuk pengambilan bagasi
tersebut
antara lain:
1.
Membawa paspor (untuk penumpang Internasional) sebagai identitas diri
2.
Membawa salinan PIR yang diberikan pada waktu penumpang melapor kehilangan
bagasi.
3.
Membawa surat kuasa bila pengambilan bagasi diwakilkan orang lain.
4.
Bila bagasi dalam bentuk koper, diharuskan membawa kunci bagasinya, sebab
sebelum keluar Arrival Hall, bagasi tersebut harus diperiksa oleh
petugas Bea Cukai.
Seperti
halnya penanganan penumpang di bandara, penanganan bagasi juga dilakukan pada
saat keberangkatan (Baggage Handling Departurel) ataupun pada saat
kedatangan (Baggage Handling Arrival).
1.
Penanganan bagasi keberangkatan
Penanganan bagasi keberangkatan
dimulai pada saat penumpang tersebut melakukan check in di
Airport. Setelah bagasi ditimbangan dan dicatat lalu dimasukkan kedalam system,
kita harus menempelkan label tujuan dan nomor claim tag bagasi
tersebut. Bila bagasi itu ada label lama kita harus mencabut label tersebut dan
mengganti dengan label tujuan yang baru.
Jika dalam penimbangan beratbagasi
penumpang ada yang melebihi dari yang diizinkan, maka penumpang tersebut
dikenakan biaya excess baggage atau bagasi lebih. Untuk kelebihan
bagasi ini penumpang diberikan excess baggage tiket
yang memuat berat total bagasi, berat yang diizinkan, dan berat yang dikenakan
biaya dari bagasi penumpang tersebut. Tiket bagasi lebih tersebut tidak hanya
diberikan kepada penumpang, copy dari tiket tersebut nantinya
akan dilaporkan kedalam laporan penjualan dokumen angkutan domestic, untuk
dikirim ke bagian administrasi dikantor kota. Bagasi-bagasi tersebut setelah
ditimbang dan diberi claim tag serta diberi label sesuai tujuannya, kemudian
diserahkan kepada porter untuk diangkut keatas baggage
cart untuk menunggu saat
loading.
2.
Penanganan Bagasi Kedatangan
Penanganan bagasi pada saat kedatangan
dimulai ketika pesawat sudah mendarat dalam posisi blok on, yaitu
pesawat dalam keadaan tidak bergerak dan ganjalan roda (whellchocks) telah
terpasang. Selain itu pintu kopartemen dapat segera dibuka dan semua
barang-barang angkutan baik bagasi, kargo, atau mail segera
dikeluarkan (unload) kemudian diangkut ke atas baggagecart.
Bagasi-bagasi yang diturunkan ini
setelah diangkut keatas baggage cart langsung dibawa ke bagian claim
area, yaitu suatu ruangan dimana para penumpang dapat mengambil bagasinya.
Penumpang yang hendak mengambil bagasi dapat menunjukkan claim
tag yang dimilikinya untuk diberikan kepada petugas agar bagasinya
segera diberikan.
Setiap penumpang yang bepergian dengan pesawat
udara baik domestic maupun internasional mendapatkan hak untuk membawa sejumlah
barang tertentu atau bagasi tanpa di pungut biaya. Bagasi untuk penumpang dibedakan
menjadi dua yaitu bagasi yang dibawa sendiri ke kabin (cabin baggage)
dan bagasi yang dimuat dalam pesawat (checked baggage).
Setiap penyerahan bagasi oleh
penumpang kepada petugas perusahaan penerbangan, penumpang tersebut mendapat
sebuah label disebut baggage tag (label bagasi) yang menyebutkan kota tujuan
dari penumpang tersebut.
Baggage tag ini merupakan bukti bagi
penumpang atas barang yang sudah
diserahkan
kepada perusahaan penerbangan sehingga tanggung jawab ada pada perusahaan
sampai dengan kota tujuan terakhir.
Tidak jarang seorang penumpang setelah
tiba dibandara tujuan melaporkan bahwa bagasinya tidak ditemukan (lost).
Yang pertama dilakukan apabila ada penumpang yang melaporkan bagasinya hilang
adalah dengan memeriksa kompartemen pesawat atau area sekitarnya, karena
mungkin bagasi tersebut belum diturunkan. Bila ternyata bagasi tidak ditemukan,
maka penumpang yang kehilangan bagasi itu harus memenuhi beberapa prosedur sebelum
petugas melekukan pencarian atas bagasi yang hilang terebut
(tracing).
Ada kehilangan bagasi yang menjadi
tanggung jawab perusahaan penerbangan dan ada pula yang buka merupakan tanggung
jawab perusahaan, artinya menjadi tanggung jawab penumpang itu sendiri. Pada
kejadian dimana koper penumpang ternyata dibongkar oleh petugas bongkar muat, maka
tanggung jawab terletak pada perusahaan penerbangan dan kepada penumpang diberikan
ganti rugi.
Petugas Lost and Found dalam
menangani masalah ini dilihat dahulu apakah penumpang yang kehilangan bagasi
itu masih berada dilokasi kedatangan atau belum keluar dari area tersebut dan
petugas memeriksa dahulu arrival hall dan baggage
sorting.
Perusahaan penerbangan Garuda
Indonesia menggunakan system BAHAMAS (Baggage Handling Management System)
dan WTC (Wolrd Tracer) dalam proses pencarian barang yang hilang.berpusat
di Atlanta (ATL).
Penanganan yang tepat sesuai dengan
prosedur yang berlaku, sedikit banyaknya akan membantu mencegah terjainya
barang penumpang. Berikut ini langkah-langkah yang dilakukan bagian Lost
and Found dalam menangani bagasi yang hilang :
a. Penumpang melapor kebagian Lost and Found
b. Mencatat nomor label bagasi
c. Bila tidak ditemukan dibuatkan laporan hilang
dengan mengisi formulir “Property Irregularity Report” (PIR) dengan
mencatat :
1) Nama, alamat penumpang, bagasi dan rute perjalannya
2) Ciri-ciri bagasi
3) Mencatat isi bagasi sesuai dengan daftar
nama-nama barang yang dibawa oleh penumpang
4) Nomor bagasi yang hilang
d. Mengirim berita kehilangan bagasi keseluruh
stasiun yang berhubungan dengan penerbangan penumpang.
e. Menghimpun bukti-bukti berita pelacakan
sampai bagasi ditemukan atau tidak ditemukan. Setelah data mengenai bagasi yang
hilang sudah lengkap, petugas lost and found dapat memulai tracing dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
1.
Membuat AHL (Adyise Handling Lunggage), yaitu sebuah entry untuk
dikirim ke beberapa bandara dimana bagasi tersebut diperkirakan berada. Entry ini
berisi data-data lengkap mengenai bagasi tersebut, seperti tag number,
nama pemilik, serta deskripsi fisik dari bagasi tersebut.
2.
Menunggu info dari bandara-bandara yang dikirimkan AHL.
3.
Bila ternyata ada bandara yang memberitahukan ada kelebihan bagasi
ditempatnya yang sesuai dengan deskripsi AHL tadi, maka petugas dibandara yang
membuat AHL segera mengirimkan pesan untuk ke bandara yang kelebihan tersebut
dengan enrty ROH (Request On Hand Baggage).
4.
Menunggu kiriman bagasi tersebut sesuai dengan yang dijadwalkan
oleh bandara yang menemukan bagasi,
5.
Setelah bagasi tersebut sampai di bandara yang kehilangan bagasi
dan pemilik bagasi telah menerimanya, maka petugas harus membuat sebuah entry penutup
(pada sistem komputer yang dimaksud), yang disebut CAH (Close AHL File),
yang menyatakan kasus tersebut telah selesai.
Sedangkan bila kita menemukan bagasi
lebih (Found Baggage), langkah-langkah yang harus dilakukan adalah :
a. Membuat pesan atau entry yang
disebut OHB (On Hand Baggage), yang menyatakan bahwa stasiun kita
memiliki bagasi lebih beserta deskripsi bagasi tersebut.
b. Bila ada data AHL yang sesuai dengan OHB yang
kita buat, maka kita harus mengirim bagasi tersebut (forward) atas
permintaan dari bandara yang membuat AHL (ROH)
c. Bila kita mendapatkan pesan bahwa bagasi yang
kita kirim diterima dengan baik, maka kita harus melakukan enrty penutup
yang disebut COH (Close OHB File), yang sama tujuannya dengan CAH.
Untuk penumpang yang bagsinya hilang,
batas waktu pencarian adalah 15 hari dari tanggal melapor, bila bagasi selama
15 hari bagasi tidak juga ditemukan, maka akan mendapat penggantian sebesar :
a. Penumpang yang ada pada saat kedatang tidak
menerima atau menemukan bagasi (tertinggal ditujuan lain, terlambat diterima), diberikan
First Need Compensation sebesar :
1. Penumpang pemegang tiket F (First) sebesar USD.100
2. Penumpang pemegang tiket C (Business) sebesar USD.75
3. Penumpang pemegang tiket Y (Economy) sebesar USD.50
b. Pemegang tiket internasional yang bagasinya
dinyatakan hilang akan mendapat ganti rugi berdasarkan kilogram sebesar
USD.20/kilogram
c. Penumpang pemegang tiket domestik yang
bagasinya dinyatakan hilang atau rusak akan mendapat ganti rugi sebesar Rp.100.000/kilogram
Untuk
bagasi yang ditemukan, secara normal bagasi itu dikirimkan melalui pesawat yang
akan mendarat di stasiun pengirim pesan dengan dicantumkan label Rush Tag,
langkah selanjutnya petugas lost and found memberikan informasi kepada
penumpang yang bersangkutan untuk mengambil bagasinya melalui telepon atau
surat. Beberapa syarat yang harus diperhatikan untuk pengambilan bagasi
tersebut antara lain :
a)
Membawa paspor (untuk internasional) sebagai identitas diri
b)
Membawa salinan PIR yang diberikan pada waktu penumpang melapor kehilangan
bagasi
c)
Membawa surat kuasa bila pengambilan bagasi diwakilkan
d)
Bila bagasi dalam bentuk koper, harus membawa kunci bagasi sebab sebelum
keluar dari arrival hall bagasi tersebut harus diperiksa oleh petugas Bea
Cukai.
3.
Proses penyelesaian Dalam Hal Penumpang Kehilangan Bagasi
Bila penumpang telah sampai di tempat
tujuannya tidak menemukan
bagasinya
maka penumpang harus melaporkan ke petugas Lost and Found yang sedang berada di
tempat pengambila bagasi penumpang dan akan langsung menanyakan tentang asal
dan tujuan penumpang tersebut dan petugas akan melihat apakah kompartemen
pesawat masih ada yang tertinggal, bila tidak ada maka petugas akan membuatkan
PIR (Property irregularity Report).
Selanjutnya memasukkan PIR tersebut
kedalam sistem dan sistemnya akan mencari sendiri, batas waktu pencarian bagasi
tersebut adalah 15 hari dari tanggal kehilangan. Sistem ini akan diterima oleh
seluruh perusahaan penerbangan yang berhubungan dengan Garuda Indonesia yang
telah melakukan kerjasama. Bila bagasi tersebut berada di stasiun lain maka
stasiun ini akan mengirimi ke stasiun yang mencarinya, dan jika tidak ada maka penumpang
dapat mengklain/menuntut ganti rugi ke perusahaan penerbangan dengan memenuhi
persyaratan yang telah ditentukan oleh perusahaan yang dituntut.
Persyaratan yang harus dibawa untuk
mengklaim/menuntut ganti rugi ke pihak Garuda Indonesia adalah sebagai berikut
:
a. Menyerahkan Property irregularity Report (PIR)
b. Photo copy cover tiket, boarding pass dan
copy tracing
c. Claim tag
d. Missing baggage questionnaire (berlangsung
tanya jawab kepada penumpang danpetugas yang mengisinya)
e. Claim Correspondence
f. Final release (surat pernyataan)
g. Voucher pembayaran
h. Claim settlement form (klaim yang harus
ditanda tangani oleh Distric Manager atau Station Manager).
Setelah penumpang
memenuhi persyaratan diatas maka petugas mengisi formulir penyelesaian klaim
(clain settlement form). Berikut ini adalah contoh pengisian formulir
penyelesaian klaim :
a.
Tanggal pembuatannya
b.
Nomor klaim
c.
Nama penuntut
d.
Alamat penuntut
e.
Bentuk klaim (kehilangan, keterlambatan, kerusakan, kecurian, dan keluhan).
f.
Merujuk nomor arsip
g.
Nomor penerbangan yang gunakan penuntut
h.
Tanggal penerbangan
i.
Asal keberangkatan
j.
Tempat tujuan
k.
Berat bagasi pada waktu ditimbang di tempay check-in
l.
Total uang klaim
m.
Total uang dibayar
n.
Konversi ke US $
o.
Penjelasan tentang alasan penyelesaian klaim
p.
Disiapkan oleh (tanda tangan staff)
q.
Disetujui oleh (tanda tangan orang yang berwenang)
Setelah penumpang melengkapi
persyaratan yang telah ditentukan, maka
penumpang
membawa persyaratan tersebut ke PT Garuda Indonesia Gunung Sahari di bagian
administrasi, disana penumpang akan memndapatkan uang ganti rugi yang telah
disepakati oleh kedua belah pihak.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil
penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan dalam
bab
sebelumnya maka penulis berkesimpulan sebagai berikut :
1.
Ketentuan hukum yang mengatur tanggung jawab pengangkutan udara
terhadap
bagasi penumpang adalah Undang-Undang No.1 Tahun 2009
tentang
Penerbangan, Ordinansi Pengangkutan Udara Stb 1939-100
KUHPerdata
pasal 1234, 1236 dan 1320 tentang Syarat sah perikatan dan
tanggung
jawab pengangkutan dan juga diatur dalam Peraturan Pemerintah
No.40
Tahun 1995. selain itu perlindungan diberikan pula kepada
penumpang
dengan mengikutsertakan Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia
sebagai lembaga yang menerima keluhan dari masyarakat
khususnya
pengguna jasa angkutan udara.
2.
Cara peneyelesaian sengketa yang terjadi antara PT Garuda Indonesia
dengan
dr. Budiyanto dilakukan dengan cara mediasi. Dengan menggunakan
bantuan
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), karena pada
awalnya
dr. Budiyanto menyampaikan keluhannya ke YLKI, setelah
melakukan
pengaduan ke YLKI dan YLKI melakukan surat-menyurat
dengan
PT Garuda Indonesia akhirnya ditanggapi dan kedua belah pihak
melakukan
beberapa kali mediasi hingga tercapai kata sepakat atau damai
dan
dr. Budiyanto mendapatkan ganti rugi sebesar Rp.1.000.000,00. atas
kerugian
yang diderita. Hal ini mencerminkan bahwa pengangkutan udara
bertanggung
jawab atas kelalaian yang dilakukan.
B.
Saran
1. Perlunya
sosialisasi Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan
dan Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1995 tentang
Angkutan
Udara karena masih banyak pengguna jasa angkutan yang tidak
tahu
haknya dan kemana harus mengadu jika barang atau bagasinya hilang
2.
Perlunya sosialisasi tentang tata cara pengaduan konsumen
3.YLKI
harus lebih pro-aktif dalam kasus-kasus yang menimpa konsumen
khususnya
pada bidang pengangkutan udara.
4.
Perlunya pengetahuan yang lebih luas kepada petugas Lost and Found jika
ada
penumpang yang kehilangan bagasinya dan bagaimana cara
menanganinya
5.
Perusahaan pengangkutan udara hendaknya lebih tanggap jika ada keluhan
dari penumpang.
DAFTAR
PUSTAKA
A. BUKU
Abdulkadir
Muhammad., Hukum pengankutan Darat, Laut, dan Udara,
(Bandung : Citra Aditya
Bakti, 1994)
G. kartaspoetra dan E.
Roekasih., Segi-Segi Hukum Dalam Charter dan
Asuransi Angkutan Udara, (Bandung : Amico,
1982)
Soegijatna
Tjakranegara., Hukum pengangkutan Barang dan Penumpang,
(Rineka Cipta, 1995)
B. PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
Indonesia, Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
_______, Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perlindungan
Konsumen,
_______, Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 tentang Angkutan
Udara.
_______, Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)
_______, Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (WetboekVan
Koophandel),
Garis Besar Haluan
Negara,
Ordinasi Pengangkutan
Udara (Luchtvervoer Ordonannti – Staatblad 1939
– 100),Konvensi Warsawa
Tahun 1929.